Thursday, August 28, 2008

Budaya Sunda dan UNPAS

Nilai Budaya Sunda: Suatu Identitas yang Terkelupas *)

Oleh: Herlan Firmansyah, M.Pd

Adalah suatu keniscayaan ketika sebuah institusi yang menamakan diri “Pasundan” menjadikan nilai-nilai budaya Sunda sebagai identitas dari Coorporate Culture yang dibangun dan dikembangkanya, tidak terkecuali bagi Universitas Pasundan (UNPAS), sebagai suatu lembaga pendidikan tinggi yang bernaung dalam Paguyuban Pasundan, maka Nilai Budaya Sunda (NBS) menjadi menu wajib dari program-program yang dikembangkanya serta hendaknya menjadi jati diri lembaga yang membedakannya dengan Perguruan Tinggi Swasta (PTS) lainya.

Secara normatif administratif, UNPAS memang sudah meletakan NBS sebagai salah satau core dari visi yang dikembangkannya, hal tersebut tertuang dalam visi UNPAS yang berbunyi “Universitas yang memiliki kualitas nasional yang mampu memadukan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni dengan agama Islam yang selaras, serasi dan seimbang serta menjadi pusat pengembangan kebudayaan Sunda di Indonesia”, untuk menggapai visi tersebut, maka dirumuskan serangkaian misi. Sebagaimana sudah menjadi misi utama sebuah perguruan tinggi, UNPAS memiliki misi melaksanakan Tri Darma Perguruan Tinggi: Pendidikan, Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat. Selain misi umum tersebut, UNPAS menegaskan misi khususnya yaitu menjaga, melestariskan dan mengembangkan Budaya Sunda serta menganggungkan agama Islam sebagai pencerminan identitas Universitas.

Bagaimana implikasi dari visi dan misi yang mulia tersebut? Khususnya tentang ungkapan visi menjadi pusat pengembangan kebudayaan Sunda di Indonesia dan misi khusus menjaga, melestariskan dan mengembangkan Budaya Sunda, inilah yang menjadi persoalan. Realitasnya bunyi dari visi dan misi di atas belum secara utuh meneretas dalam aktivitas lembaga, baik aktifitas akademik maupun non akademik. Beberapa indikator menunjukan bahwa tampaknya NBS mulai terkikis dan terkelupas dari eksistensi UNPAS dewasa ini, indikator tersebut diantaranya dapat dilihat dari komitmen akademik UNPAS terhadap Budaya Sunda, ketiadaan jurusan bahasa Sunda, budaya Sunda atau sastra Sunda menjadi pertanyaan besar bagi implikasi visi UNPAS, padahal UNPAD saja memiliki jurusan sastra Sunda dan UPI memiliki jurusan Pendidikan Bahasa Sunda. Dalam naungan Paguyuban Pasundan sebenarnya UNPAS memiliki daya dukung yang potensial untuk mengembangkan jurusan Pendidikan Budaya Sunda, Bahasa Sunda atau Pendidikan Sastra Sunda di bawah FKIP. Adanya Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) milik Paguyuban Pasundan yang tersebar di seantero Jawa Barat hendakanya menjadi entitas terpenting bagi lahirnya kepercayaan diri dan komitmen UNPAS untuk mengembangkan Jurusan Pendidikan yang berhubungan dengan NBS.

Selama ini tampaknya UNPAS baru merasa cukup hanya dengan menjadikan Budaya Sunda sebagai Mata Kuliah Wajib Umum (MKWU) dengan bobot 2 (dua) SKS yang wajib di ikuti oleh seluruh mahasiswa UNPAS, hal tersebut memang cukup positif, namun tampaknya hanya akan bersifat selayang pandang jika budaya Sunda hanya sebatas dijadikan mata kuliah yang diberikan selama satu semester. Wawasan mahasiswa terhadap NBS tidak mungkin mendalam, terlebih munculnya komitmen, sense of bilonging dan yang lebih jauhnya sense of crisis terhadap eksistensi NBS di tengah fenomena dewasa ini yang cenderung semakin mengikis dan mengancam keberlangsungannya.

Selain menjadikan budaya Sunda sebagai MKWU, UNPAS juga sudah membentuk Lembaga Budaya Sunda, namun jika dilihat dari program-programnya belum mencerminkan suatu instrumen terpenting dari implikasi Budaya Sunda sebagai identitas UNPAS. Rutinitas program yang dilakukan Lembaga Budaya Sunda tidak setajam cita-cita UNPAS untuk menjadi pusat pengembangan kebudayaan Sunda di Indonesia.

Jika Budaya Sunda memang ingin dijadikan sebagai identitas universitas dan UNPAS ingin menjadi pusat pengembangan kebudayaan Sunda di Indonesia, maka eksistensi lembaga budaya Sunda yang dimiliki UNPAS hendaknya tidak ditampilkan hanya sekedar sebagai hiasan etalase perangkat universitas, melainkan ditampilkan sebagai miniatur dari Lembaga Pusat Studi Sunda (LPSS) yang direkomendasikan Konferensi Internasional Budaya Sunda (KIBS) pada 22-25 Agustus 2001 di Bandung. Selain itu, eksistensi lembaga ini hendaknya memperhatikan apa yang diungkapkan oleh Sardar & Loon (Alwasilah, 2006:42-43) tentang lima karakteristik epistemologis yang seyogianya dimiliki oleh lembaga yang memfokuskan dirinya pada studi pengembangan kebudayaan. Adapun kelima karakteristik tersebut sebagai berikut, pertama; Studi kebudayaan (SK) yang dilakukan hendaknya ikut mengkritisi praktek kebudayaan dalam hubungannya dengan kekuasaan, kedua; SK yang dilakukan hendaknya tidak terbatas kepada SK dalam pengertian konvensional, yakni sebagai entitas yang berdiri sendiri, melainkan SK hendaknya memaknai budaya dalam konteks sosial dan politiknya, ketiga; SK hendaknya tidak cukup sekedar menghasilkan analisis deskriptif dari kebudayaan, melainkan perlu mengomandokan langkah-langkah operasional, keempat; SK hendaknya membongkar sekat-sekat pengetahuan demi cairnya lalu lintas antardisiplin ilmu dan pengetahuan, kelima; SK hendaknya berkeyakinan akan paham rekontruksivisme dalam mencermati kebudayaan.

Selain memperhatikan yang diungkapkan oleh Sardar & Loon, agar eksistensi Lembaga Budaya Sunda menjadi instrumen penguat dan perangkat operasional dari visi UNPAS sebagai pusat pengembangan budaya Sunda di Indonesia serta menjadikan budaya Sunda sebagai identitas universitas, maka hal-hal yang diungkapan oleh Alwasilah (2006:44-46) tentang faktor pendorong dalam menyusun strategi kebudayaan Sunda tampaknya baik untuk diprogramkan oleh pemberdaya Lembaga Budaya Sunda dan pimpinan UNPAS, faktor pendorong tersebut diantaranya, pertama; identifikasi budaya Sunda, kedua; pengkajian secara objektif dan proporsional unsur-unsur budaya Sunda, ketiga; upaya perumusan konsesus diantara para tokoh atau elit budaya Sunda tentang agenda pemberdayaan potensi kultural Sunda serta prioritas garapan dalam jangka pendek dan jangka panjang, keempat; aspek kepakaran, integritas dan komitmen dari pengelola lembaga budaya Sunda, kelima; keseimbangan antara kegiatan internal dan eksternal, keenam; upaya memfasilitasi terjadinya internalisasi kepercayaan, nilai-nilai dan fatwa-fatwa kebudayaan pada batin masyarakat Jawa Barat umumnya dan Ki Sunda khususnya.

Sebagai Perguruan Tinggi Swasta (PTS) yang sudah memiliki pangsa pasar luas sejak 14 Nopember 1960 dan sudah memiliki good governance yang mapan, UNPAS hendaknya tidak melupakan salah satu identitas yang dicita-citakanya sejak lama yaitu budaya Sunda, dan tidak perlu ada kekhawatiran kaburnya sebagian konsumen ketika unsur budaya Sunda yang memang bernuansa etnis di jadikan identitas universitas, segmen pasar UNPAS dewasa ini sudah luas dan memiliki sumber daya pendukung yang kuat di tingkat akar rumput, yakni keberadaan SMP dan SMA Pasundan yang menyebar di seantero Jawa Barat. Jangan biarkan identitas itu terkelupas walau pesaing-pesaing (PTS-PTS yang ada) semakin berderet dengan manajemen profesional dan banyak mengusung nilai-nilai global atas nama moderenisasi dan globalisasi, perlu diingat bahwa proses globalisasi terkadang banyak menyapu kearifan lokal termasuk nantinya budaya Sunda secara perlahan akan terkelupas dari orang Sunda sendiri, sehingga tanggung jawab moral UNPAS bagi kelestarian budaya Sunda perlu di kuatkan dan diwujudkan dalam langkah-langkah operasional lembaga secara berkelanjutan.

Untuk pengembangan aktivitas kelembagaan kedepan, sebaiknya UNPAS tetap menjadikan NBS sebagai variabel competitive advantage, sehingga identitas yang selama ini dicita-citakanya sejak lama tidak terkelupas, jika hal tersebut dilakukan maka NBS akan menjadi added value dan menjadi social capital bagi UNPAS dalam mengarungi persaingan dengan PTS-PTS lainya, dan niscaya UNPAS akan memiliki posisi tawar lebih di mata publik.

Rujukan:

Alwasilah Chaedar, 2006, Pokoknya Sunda; Interpretasi untuk Aksi, Bandung, Kiblat dan Pusat Studi Suda.

Buku Panduan UNPAS Tahun Akademik 2006/2007

Hasil Observasi dan Wawancara Penulis pada hari Rabu, 21 Maret 2007

No comments: